Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Juli 2011

10 Filosofi Hidup orang Jawa

1. Urip Iku Urup 
(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)


2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara 
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

3. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti 
(segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)

4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha 
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan 
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman 
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).

7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka 
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).

9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo 
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).

10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna 
(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).

Senin, 22 November 2010

KITAB BASAH DAN KITAB KERING

tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001

Kata “kitab garing” popular bagi mereka yang suka untuk belajar olah batin. Dalam hidup ini hendaknya kita tidak hanya belajar tentang “kitab garing” yaitu membaca dan memahami apa yang tertulis di dalam buku-buku saja. Namun hendaknya kita utamakan membaca serta menghayati apa yang ada di alam semesta dan mengenal di dalam diri manusia yang dilanjutkan dengan melaksanakan di dalam perilaku. Ini disebut “kitab teles.” Marilah kita perdalam soal kitab ini. Di dalam ajaran agama Islam, beriman kepada kitab-kitab-Nya menduduki ranking ketiga.
Ranking pertama adalah beriman kepada Allah dan ranking kedua adalah beriman kepada malaikat-Nya. Setelah itu baru beriman kepada kitab-kitabnya, dan ranking keempat adalah beriman kepada rasul-rasul-Nya, ranking kelima adalah beriman kepada Hari Akhir dan ranking terakhir keenam adalah beriman kepada takdir. Meskipun disini dikatakan ranking, namun tidak berarti ranking pertama lebih hebat dan harus didahulukan dari ranking selanjutnya. Semuanya harus diimani secara total dengan penghayatan dan perilaku yang selanjut-lanjutnya mulai ranking satu hingga terakhir karena itu sejatinya satu kesatuan. Iman juga tidak hanya diartikan PERCAYA alias YAKIN terhadap keberadaan sesuatu. Ini tentu saja penghayatan anak kecil yang dangkal dan masih belum sempurna. Hakikat iman adalah WUJUD PENGAKUAN baik yang diucapkan maupun yang diyakini di dalam hati dan kemudian dilanjutkan dengan PERILAKU sehari-hari. Maka, iman dalam arti yang demikian adalah arti iman yang ‘HIDUP’ bukan iman yang ‘MATI’. Keimanan yang sempurna oleh karena itu tidak hanya diucapkan di mulut saja. Kalau hanya diucapkan di mulut, para maling uang rakyat, para maling kebijakan moneter, para maling perkara pengadilan pun juga bisa melakukannya. Namun, hakikat keimanan yang sempurna pasti berbeda. IMAN SEMPURNA akan diraih ketika TELAH MENDARAH DAGING dalam PERBUATAN sehari-hari. Bisa jadi dia tidak mengucapkannya di mulut karena enggan dikatakan riya’/sombong. Namun hakikat keimanan terletak pada bagaimana kelakuan sehari-harinya. Apakah mencerminkan dengan RUKUN IMAN atau tidak. Oleh karena itu dalam kita beragama jelas membutuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan menerangi pemahaman-pemahaman konseptual yang selama ini telah kita miliki dan kita susun sebagai pandangan hidup. Kembali ke tema awal yaitu tentang beriman kepada kitab-kitab-Nya. Sejak taman kanak-kanak, yang kita ketahui adalah Tuhan telah menurunkan kitab-kitab-Nya pada para rasul. Pemahaman ala anak TK ini pun masih dipermiskin lagi dengan memaknai kitab-kitab-Nya sebagai barang/benda yang berbentuk buku yang diturunkan kepada para nabi yang hidup di timur tengah. Ini jelas sebuah pemiskinan makna kitab yang sesungguhnya yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Iman terhadap kitab-kitab-Nya jelas sebuah keharusan. Yaitu mengimani semua jenis kitab yang ada di alam semesta yang semuanya bersumber dari Yang Maha Esa. Kalau kita memperdalam lagi.. maka apa ada tulisan yang tidak merupakan kitab-kitab yang berisi sabda-sabda Tuhan di alam semesta ini?
Itu sebab dikatakan bahwa semua pergelaran alam ini disebut PAPAN TANPO TULIS/SASTRA JENDRA. Jadi kita tidak boleh hanya mengimani kertas-kertas dan mensucikan teks-teks yang dibuat di pabrik-pabrik kertas. Pemberhalaan teks yang merupakan KITAB GARING tidak boleh dilakukan oleh mereka yang mengaku orang beriman. Ini sama saja dengan kita menyembah patung, uang, jabatan, kekuasaan. Marilah kita mengkaji apa hakikat KITAB TELES itu sesuai yang tertera di dalam Al Quran, surah al-Ankabut 49: “Sebenarnya, Alquran adalah AYAT-AYAT YANG NYATA DI DALAM DADA orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim.” Dari ayat ini, orang yang beriman diharuskan ber-Iqra tentang KITAB DI DADA. Kitab ini bukan hanya teks yang semata-mata dihafal saja namun dipahami maknanya dan diimplementasikan dalam sikap hidup dan bertindak. Inilah yang oleh kaum kebatinan jawa disebut dengan KITAB TELES. Memang, merunut ayat di atas hakikat Al Quran hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang diberi ilmu oleh-Nya. Diberi ilmu tidak sama dengan orang yang berilmu. Bila berilmu didapat dari proses belajar, maka diberi ilmu didapat dari proses pasrah total, sumeleh, sumarah kemudian DIA memberi kita hidayah berupa ILMU. Memahami KITAB TELES yang berupa AYAT-AYAT YANG NYATA DI DALAM DADA, apa ini artinya? Artinya kita wajib untuk membaca pergelaran alam semesta/MAKROKOSMOS yang ada di dalam diri manusia. Manusia terdiri dari berbagai unsur penyusun yang bersifat FISIK dan METAFISIK. Yang Fisik yaitu tubuh biologis kita, dan yang Metafisik yaitu tubuh eterik, CIPTA, KARSA dan RASA. Di dalam unsur yang METAFISIK itu ada catatan amal perbuatan BAIK DAN BURUK. Cara membaca kitab di dalam dada ini tidak lain kita perlu belajar tentang olah kebatinan/olah rasa/dimensi dalam/tasawuf/inner world/praktik mistik agar tersingkap tirai yang menyelubungi ketidaktahuan kita. Apakah mendalami olah rasa/dimensi dalam/mistik/ kebatinan ini berlebih-lebihan dan sesat, bahkan klenik? Jelas tuduhan itu salah alamat, bahkan setiap individu harus mempelajarinya. Di agama manapun, praktik olah rasa ini pasti ada. Di Islam pun ada ilmu mistiknya yang disebut ilmu tasawuf selain ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu mantiq, ekonomi Islam, nahwu sharaf dan lain-lain… Ilmu tasawuf akan menerangi jiwa manusia agar selalu awas( untuk selalu mendengar dan membaca ayat-ayat-NYA), eling (mengingat dan berdzikir pada-Nya) dan waspada (dalam perbuatan/tindakan). Inti olah kebatinan tingkat lanjut adalah mengenal “MATI SAJRONING URIP dan URIP SAJRONING LAMPUS.” Ini adalah jalan MISTIK agar kita bisa merasakan kematian pada saat tubuh fisik kita masih hidup dan merasakan KEHIDUPAN pada saat tubuh kita telah mengalami KEMATIAN. Di dalam dua alam baik alam dunia maupun alam kelanggengan/alam kubur dan dua keadaan baik tubuh kita HIDUP atau tubuh kita sudah MATI, sebenarnya KESADARAN KITA TETAP HIDUP. Kesadaran yang merupakan pancaran diri sejati (dalam bahasa agama diebut RUH) ini tetap hidup kekal dan abadi. Tidak mengenal hilang dan lenyap.
Maka, yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar seseorang bisa memilih jalan kematian yang tidak sesat. Bila sesat dan tidak sempurna, maka ruh manusia akan ngelambrang ke alam gaib yang paling rendah. Memasuki alamnya setan, gendruwo, peri, wewe gombel, tuyul, buto ijo… benar-benar kasihan. Sekarang, tinggal apakah kita beriman atau tidak terhadap kitab- kitab-Nya. Bila kita percaya, maka ada baiknya kita meneruskan laku dengan membaca KITAB TELES di dalam dada. Kita perlu membuktikan apakah diri sejati memang tidak tersentuh kematian. Sebab bila kita telusuri sejarah rukun iman sebagai berikut. Beriman kepada Allah adalah beriman kepada Dzat yang baka dan abadi, yang tidak tersentuh kematian dan tetap hidup sampai kapanpun. Dia tidak bisa ditakar dengan ukuran benda hidup atau mati, yang menciptakan tempat dan waktu. Selanjutnya, manusia adalah wujud kehendak-Nya, wujud penjelmaan Tuhan Yang Maha Abadi. Bahkan dalam ajaran Jawa perumpamaan eksistensi Tuhan dan manusia itu seperti gula dan rasa manisnya.
Lir gula lan manise ta kaki Murti smara batareng sujalma Jalma iku kabyangtane Allah kang maha agung Dira lepasira ki bayi Ya lahir ya batine Padha khaknya iku Ing jro khak jaba ya padha Dadi nora lain lahir lawan batin Iku padha kewala
terjemahan:
Seperti gula dan rasa manisnya Hakikat Tuhan ada dalam diri manusia Manusia itu perwujudan Allah yang Maha Agung Perwujudannya lahir dan batinnya sama-sama benar batinnya benar lahirnya juga tiada perbedaan lahir dan batin itu sama.
Nuwun. Rahayu!

MURID-MURID SYEKH SITI JENAR

tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005
Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!” “Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. (Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20).
“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” (Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 25-36).
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan kesejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara. Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram. Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4>.
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31>
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18>.
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45).
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. <Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.
Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2).
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2).
“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3).

FILSAFAT ISLAM DAN TASSAWUF

tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005

Pembahasan tentang filsafat adalah pembahasan yang identik dengan polemik, debat dan kritik. Banyak kalangan yang menuduh kajian filsafat sebagai sesuatu yang tiada guna. Belajar filsafat pun sering diibaratkan seperti mencari kucing hitam di dalam ruangan yang gelap, bahkan tidak sedikit yang menyebut kajian filsafat dalam Islam identik dengan kekufuran.
Memang kajian filsafat dalam Islam tidak lepas dari polemik, terutama jika pembahasannya terkait dengan masalah Ketuhanan, kenabian dan alam akhirat. Imam al-Ghazali misalnya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al Falasifah dan al Munqidh min al Dalal yang isinya adalah kritik terhadap pemikiran beberapa filosuf muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan umat Islam.
Tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat juga dirasakan oleh Muhammad ‘Abduh, di mana ketika hendak melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Kairo pada jurusan filsafat, ia mendapat teguran dari orang tuanya dan menasehatinya agar mengurungkan niatnya belajar filsafat. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Tawhidi, berfilsafat adalah salah satu bentuk dari pemanfa’atan nikmat Allah yang berupa akal sesuai dengan fungsinya, di mana akal oleh al-Tawhidi diibaratkan sebagai cahaya bagi kehidupan manusia, sehingga dengan menggunakan akal untuk berpikir, manusia menjadi lebih mulia dari binatang.
Ahmad Amin dalam Mabadi’ al Falsafah mengatakan bahwa semua manusia di dunia ini tanpa terkecuali sedang berfilsafat. Alasannya, semua manusia di dunia ini pasti berpikir, dari mulai yang sederhana hingga pada masalah yang mendalam, karena berpikir adalah bagian dari kehidupan manusia. Berpikir adalah arti sederhana dari berfilsafat, sehingga seseorang yang menolak filsafat dengan berbagai macam argumentasinya, sesungguhnya tanpa disadari ia sendiri telah berfilsafat.
Memang filsafat dalam Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M ketika puncuk kekuasaan khilafah dalam Islam dipegang oleh al-Ma’mun. Akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana filsafat Islam menjadikan al-Qur’an dan hadith atau wahyu sebagai sumber sentral bagi spekulasi filosofisnya, sementara filsafat Yunani menjadikan akal sebagai sumber tunggal bagi spekulasi filosofisnya. Maka inti daripada kajian filsafat dalam Islam sebenarnya adalah mengantarkan umat Islam untuk memahami keberadaan Tuhan, sehingga bisa menjadi semakin dekat dengan Allah bukan sebaliknya. Maka dalam filsafat Islam ditemukan sebuah kajian yang bertujuan untuk mengajak manusia agar selalu dekat dengan Allah. Kajian itu biasa disebut dengan tasawuf.
Oleh karena itu kajian tentang hubungan antara filsafat Islam dengan tasawuf sungguh sangat menarik untuk dilakukan, sehingga tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat Islam dapat segera dilurushkan. Tulisan ini mencoba untuk mengupas pembahasan tersebut sehingga dapat ditemukan pemahaman minimal yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk kajian lanjutan.
Hubungan antara Filsafat dan Tasawuf
‘Abd al-Halim Mahmud, dalam al Tafkir al Falsafi fi al Islam, memunculkan sebuah pertanyaan, apakah terdapat korelasi antara filsafat dan tasawuf? Jika ada, bagaimana bentuk korelasinya?
Dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa kata filsafat (al falsafah) berasal dari bahasa Yunani yang sudah mengalami Arabisasi, yaitu berasal dari kata philo yang berarti mencintai dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Lalu apa yang disebut dengan kebijaksanaan? ‘Abd al-Halim Mahmud dengan merujuk pada pemikiran Ibn Sina mengatakan bahwa kebijaksanaan (hikmah) adalah penyempurnaan jiwa manusia dengan cara menganalisa segala perkara yang dihadapinya dan meyakini segala bentuk kebenaran teoritik maupun praktis sesuai dengan kemampuan dirinya sebagai manusia, sehingga dapat memahami dengan baik bagaimana hidup bermasyarakat, berkeluarga, mana yang baik dan mana yang buruk. Semua itu, menurut ‘Abd al-Halim Mahmud dapat dilakukan oleh manusia jika ia mengetahui keberadaan Allah (al ma’rifah bi Allah), karena dengan mengetahui keberadaan Allah, manusia akan menjauhi perbuatan yang buruk untuk melakukan perbuatan yang baik.
Maka inti daripada filsafat Islam adalah mengungkap kebaradaan Allah. Artinya, filsafat adalah sarana untuk mencapai pengenalan diri dengan Allah.
Sementara tasawuf atau sufisme dapat dideskripsikan sebagai interiosasi dan intensifikasi dari keyakinan dan praktik Islam. Memang belum ditemukan kata sepakat di antara peneliti tentang arti sebenarnya dari sufisme, baik pada tataran etimologis maupun terminologis. Tidak adanya kesepakatan definisi dari tasawuf itu dapat dilihat dari beberapa istilah yang beragam, terkadang disebut sebagai mistisisme Islam, terkadang pula disebut sebagai esoterisisme Islam. Pada tataran etimologis sering ditemukan pendapat yang menyebut tasawuf berasal dari kata sawf yang berarti wol, artinya seorang sufi adalah seseorang yang berbusana wol.
Pada abad ke-8 kata tersebut digunakan untuk menyebut orang muslim yang karena kecenderungan asketisnya menggunakan pakaian wol yang kasar dan tidak nyaman. Tetapi secara bertahap istilah ini digunakan untuk menunjuk sekelompok orang muslim yang membedakan dirinya dari yang lain dengan cara menekankan ajaran-ajaran dan praktik-praktik khusus dari al-Qur’an dan sunnah.
Tidak ditemukannya kata sepakat terhadap definisi tasawuf, menyulitkan kita untuk membedakan mana yang sufi dan mana yang bukan. Menjadi sufi tentu saja tidak berkaitan dengan pemisahan diri dari Sunni atau Shi’ah ataupun dengan madzhab-madzhab fiqh dalam Islam.
Secara umum, istilah tasawuf sering digunakan untuk menyebut sekelompok muslim yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh seruan Allah untuk menyadari kehadiranNya, baik di dunia maupun di akhirat, di mana mereka lebih menekankan hal-hal batiniah di atas lahiriah, kontemplasi di atas tindakan, perkembangan spiritual di atas aturan hukum dan pembinaan jiwa di atas interaksi sosial. Pada tingkat teologi misalnya tasawuf berbicara perihal ampunan, keagungan dan keindahan Tuhan.
Intinya adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga dapat selalu merasakan bahwa Allah selalu hadir bersama manusia. Keyakinan ini biasa digambarkan dalam konsep yang biasa disebut dengan istilah ihsan. Untuk menumbuhkan konsep ihsan pada diri setiap muslim, Nabi mengajarkannya melalui hadithnya an ta’bud Allah ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatNya, jika tidak mampu, dengan menumbuhkan keyakinan bahwa Allah Melihat kita). Konsep ini dimunculkan berdasarkan pada kayakinan bahwa sebab manusia melakukan keburukan adalah karena kurang memiliki keyakinan bahwa Allah selalu melihatnya.
Pentingnya ajaran tasawuf dalam Islam tidak lepas dari adanya dua unsur yang saling melengkapi, yaitu unsur lahir dan unsur batin. Unsur lahir diwakili oleh shari’ah, sementara unsur batin diwakili oleh haqiqah. Shari’ah merupakan pintu masuk menuju haqiqah, dan haqiqah merupakan tujuan yang dari pelaksanaan shari’ah.
Perbedaan antara shari’ah dan haqiqah dapat diibaratkan seperti kulit dan isi atau lingkaran dan titik tengahnya. Rene Guenon, seorang tokoh ternama dalam mistisisme Kristen yang kemudian masuk Islam melalui pendekatan sufisme mengatakan bahwa antara shari’ah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan. Demikian pula dengan Abu ‘Ali al-Daqqaq juga mengatakan bahwa antara shari’ah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan dalam Islam. Ia menggambarkan bahwa ayat iyyaka na’bud sebagai ayat yang berkonotasi shari’ah, sementara iyyaka nasta’in sebagai ayat yang berkonotasi haqiqah.
Memang banyak kalangan, terutama orientalis, mengatakan bahwa ajaran tasawuf bersumber dari agama Hindu atau Budha. Adapula yang menyebut bahwa tasawuf bersumber dari ajaran Kristen. Memang tuduhan itu sangat berasalan, karena antara ajaran tasawuf dalam Islam dan mistisisme dalam Kristen, Hindu dan Budha terdapat kesamaan, seperti konsep wahdat al wujud, yang dalam ajaran Hindu atau Budha disebut dengan Vedanta. Selain itu banyak tokoh sufi dalam Islam yang berasal dari non-Arab, seperti Ibrahim bin Adham, Shaqiq al-Balkhi, Abu Yazid al-Bustami, Yahya bin Mu’adh dan lain sebagainya. Di samping itu ajaran tasawuf tumbuh dan berkembang di Khurasan, sebuah kawasan di Persia yang erat sekali dengan budaya Hindu dan Budha.
Kesimpulan
Jika dilihat tujuan dari kajian filsafat dalam Islam dan tasawuf dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan Allah, sehingga mau melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan jiwa.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa korelasi antara filsafat dalam Islam dan tasawuf adalah sebagai berikut; filsafat lebih bersifat teoritik, sementara tasawuf lebih bersifat praktis. Artinya, antara filsafat Islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah, di mana filsafat sebagai sarana teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi tujuan belajar filsafat Islam adalah untuk mencapai wilayah tasawuf.
(Dr Hammis Syafaq, M.Fil.I)

KENDALA MEDITASI BAGI PEMULA

tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005

Memulai meditasi bukanlah hal mudah, karena banyak kendala yang harus dihadapi. Namun begitu, tak semestinya kita segera menyerah kalah. berikut ini akan membantu mempermudah Anda melakukan meditasi.
MEDITASI kini semakin banyak diminati orang. Kelompok-kelompok yang secara teratur menjalankan meditasi semakin banyak bermunculan. Meditasi memang bermanfaat bagi kesehatan. Mempraktekkan meditasi dengan baik bisa membuat semua organ tubuh bergerak dan berfungsi dalam keadaan seimbang, serta bekerja dengan lebih teratur. Meditasi pun membuat seseorang mengalami relaksasi, karena itu sangat efektif untuk mengusir stress.
Persoalannya adalah, bagaimana cara melakukan meditasi dengan baik? Inilah pertanyaan penting yang perlu dijawab dengan mempraktikkan beberapa tip berikut ini.
Matikan rasa pengaruh yg ada di luar
Pergi ke gunung agar bisa melakukan meditasi dengan tenang tidak akan membantu bila Anda masih membawa hand phone atau televisi. Memilih tempat yang sunyi agar terlindungi dari berbagai gangguan memang penting, tetapi kesiapan Anda untuk tidak terganggu itu lebih penting. Bila hendak melakukan meditasi, tutuplah hasrat untuk berhubungan dengan semua yang ada di luar diri Anda. Lalu tutup pintu dan tutup mata Anda. Lupakan sejenak semua permasalahan yang ada.
Menutup hasrat berhubungan dengan dunia di luar diri Anda selama meditasi juga memberikan efek psikologi yang luar biasa. Itu bisa membantu Anda untuk bersikap tenang dan tidak langsung melompat begitu mendengar bunyi telepon. Atau, langsung keluar ruangan meditasi begitu ada yang berbicara. Bagi Anda yang telah berkeluarga, sebaiknya lebih dulu mengatur keperluan rumah tangga dan kebutuhan seluruh anggota keluarga agar Anda bisa bebas dan merasa tenang bermeditasi.
Manunggal rasa dalam diri
Selanjutnya, pasrahkan diri kita sepenuhnya dalam proses meditasi. Biarkan orang-orang di sekitar Anda tahu bahwa ini merupakan kegiatan yang penting dan rutin bagi Anda. Dengan begitu, mereka pun akan belajar menghargainya. Pastikan agar mereka mengerti bahwa selama menutup diri melakukan meditasi, Anda diganggu.
Sebaiknya Anda memiliki tempat khusus untuk bermeditasi. Pastikan tempat itu bersih dan bagus sirkulasi udaranya. Tempat khusus yang suasananya tenang akan sangat membantu, terutama di awal-awal proses meditasi. Usahakan pula agar jangan berpindah-pindah tempat.
Walaupun demikian, bukan berarti Anda tidak boleh melakukan meditasi di tempat yang lain. Anda bisa melakukannya di mana saja, seperti di dalam bis, di mobil, bahkan di alam terbuka. Namun medan energi meditasi akan cepat terbentuk bila Anda melakukannya di tempat yang sama. Dengan demikian, Anda akan lebih mudah mencapai ketenangan ketika memasuki ruangan tersebut.
Perlu latihan Konsentrasi
Jika Anda tidak berkonsentrasi ketika bermeditasi, janganlah putus asa. Jangan pula merasa gagal dalam bermeditasi. Sebab dalam meditasi tidak ada istilah gagal, yang ada hanyalah masalah ‘jam terbang’. Ingatlah, bukan hanya Anda yang mengalami perasaan gagal. Semua orang, bahkan para guru besar meditasi pun pada awalnya juga mengalami berbagai kesulitan yang sama dengan Anda.
Pikiran kacau, rasa gatal, rasa panas dingin, bagi para pemula adalah hal yang biasa. Ini adalah proses yang harus Anda lewati. Cara menanggulanginya, sebutlah nama Tuhan sesuai dengan kepercayaan Anda. Sebutlah berulang-ulang.
Waktu yg Baik untuk Meditasi
Anda dapat melakukan meditasi setiap saat, namun saat sandhya (matahari terbit dan terbenam) merupakan waktu yang terbaik. Tetapkan waktu meditasi Anda. Lalu sampaikan kepada teman-teman dan seluruh anggota keluarga agar tidak menggangu Anda pada jam-jam tersebut. Biasanya para praktisi meditasi selalu melakukan meditasi pada waktu-waktu tertentu. Dengan demikian, jika waktu tersebut tiba, secara otomatis mereka akan merasakan adanya keinginan untuk melakukan meditasi.
Jadwal Meditasi
Meditasi setidaknya dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan petang. Meditasi pada pagi hari berguna untuk memberikan semangat untuk memulai hari. Sedangkan meditasi pada malam hari berfungsi untuk menimbulkan relaksasi dan membantu mengurai ?benang kusut’ yang terbentuk dalam pikiran Anda serta mengubahnya menjadi ?sulaman yang indah’. Dengan demikian, Anda dapat tidur dengan nyenyak dan tidak diganggu oleh mimpi buruk.
Para pemula seringkali mengalami kesulitan mengatur waktu yang tepat untuk meditasi. Untuk mudahnya, terlebih dahulu periksalah rutinitas Anda sehari-hari, lalu cari waktu yang paling cocok untuk Anda. Bila Anda telah menetapkan waktunya, maka tegakkanlah disiplin.
Jika seseorang memiliki keinginan tulus untuk mengeksplorasi tingkatan dan kedalaman meditasi, penting baginya untuk menciptakan kebiasaan untuk bermeditasi tanpa terlewatkan. Sebab meditasi dapat diibaratkan sebagai rantai yang indah. Setiap kali melakukan meditasi, kita menambahkan satu buah mata rantai. Dalam jangka panjang, hasilnya adalah suatu untaian rantai yang kuat dan bermanfaat. Namun jika sering kita tinggalkan, maka kita akan kehilangan mata rantai. Untuk menguatkan mental, usahakan untuk tidak melewatkan waktu meditasi.
Karena itu, meski situasinya darurat, usahakan untuk tetap melakukan meditasi walau hanya beberapa saat. Pada awalnya memang sulit, tetapi lama kelamaan akan menjadi kebiasaan, seperti mandi. Anda pasti akan mampu melakukannya tanpa perlu membuat banyak pertimbangan.
Para meditator yang berpengalaman, biasanya dengan sendirinya mengurangi pengurangan waktu tidur, karena bisa juga berfungsi sebagai istirahat secara fisiologis. Dengan demikian, mereka mendapat tambahan waktu 1-3 jam yang bisa digunakan untuk melakukan meditasi atau untuk melakukan aktivitas lainnya.
Pengembangan Wawasan tentang Meditasi
Carilah teman yang juga melakukan praktek meditasi. Anda juga bisa membaca buku-buku spiritual dari orang yang berkualitas tinggi dalam hal spiritual. Waktu terbaik untuk membaca adalah setelah melakukan meditasi. Karena saat itu pikiran kita menjadi jernih dan tenang. Pengalaman orang-orang yang berhasil melewati rintangan dalam bermeditasi juga akan banyak membantu untuk lebih mempersiapkan diri dan mental Anda.
Sebelum melakukan meditasi, ada baiknya Anda melakukan pemanasan dan peregangan untuk mengendorkan otot dan melancarkan peredaran darah. Meditasi dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk, bahkan berbaring. Namun pastikan tulang punggung Anda tegak. Bukan tegak ala militer, tetapi tegak maksimal menurut Anda.
Perhatian pada Sikap, Posisi dan Sifat
Jika kita melakukan meditasi dengan posisi baik, akan ada aliran energi tulang belakang yang mengarah ke atas. Sedangkan duduk dengan postur yang tidak tegak seperti membungkuk atau menekuk ke belakang, hanya akan menghambat aliran energi, mengganggu napas, dan membuat Anda mudah mengantuk.
Jadi, penting sekali untuk duduk setegak mungkin. Beberapa orang bisa terbantu meditasinya dengan meletakkan bantal kecil sebagai alas, karena dapat mengurangi tekanan pada lutut dan menghasilkan postur yang lebih baik dengan meninggikan tulang punggungnya. Permukaan lantai yang rata dapat membantu membentuk posisi ini.
Bila Anda duduk bermeditasi, pastikan Anda duduk dengan nyaman, sehingga pikiran bebas berkonsentrasi pada proses meditasi. Jika duduk di atas karpet, bantal tipis, atau selimut yang dilipat dirasa kurang nyaman, dapat dicoba duduk di atas kursi.
Perhatian pada isi Perut
Setelah makan, Anda akan merasa malas dan mengantuk. Ini disebabkan tubuh sedang memusatkan energi pada proses pencernaan. Sebaiknya pada saat seperti ini Anda tidak melakukan meditasi, karena energi yang menuju ke otak tidak maksimal. Demikian pula sebaliknya. Bermeditasi dengan perut kosong, juga tidak memungkinkan Anda meraih konsentrasi. Karena itu, sebaiknya Anda hanya mengkonsumsi makanan ringan atau minum jus buah saja sesaat sebelum melakukannya. Nuwun. Rahayu!

CARA BERSEMEDI YG BENAR

tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005

PENGERTIAN SEMEDI
Semadi atau semedi adalah menghilangkan kehidupan jasad agar supaya seseorang dapat merasakan rahsaning gesang atau kehidupan sukma. Dengan sarana mengolah rasa disebut sirnaning papan lan tulis. Yakni jumeneng rasa jati yang benar-benar nyata, pasti dan weruh tanpa tuduh (menyaksikan sendiri tanpa referensi), atau menyaksikan “sesuatu” tanpa melibatkan badan wadag (akal-budi/ rasio/ pikiran/ imajinasi/mata-wadag). Keberhasilannya dengan cara meredam gejolak nafsu jasadiah, dan dengan mengolah gerak-gerik anggota badan.
Kehidupan jasad memiliki kesadaran yang rendah, sementara itu kehidupan sukma memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran jasadiah sifatnya rentan oleh pengaruh nafsu-nafsu, di mana pikirannya terganggu oleh imajinasi rasio. Dalam kehidupan sukma itulah terletak kesadaran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kesadaran jasad. Dapat digambarkan sukmanya keluar dari badan wadag atau jasad. Dalam kondisi demikian kesadaran jasadiah tidak lagi bisa mendominasi dan memanipulasi kesadaran batin. Kesadaran sejati yang ada pada kehidupan sukma akan membersihkan batin dari segala polusi dan imajinasi rasio dan nafsu-nafsu negatif. Pemahaman ini merupakan gambaran dari lampahan Sri Kresna di Dwarawati atau sang Arjuna yang meraga sukma. Untuk kita perhatikan semua, bawa cerita ini sekedar dijadikan sebagai perlambang atau kiasan yang memudahkan pemahaman akan hakekat dari semedi.  Adapaun tujuan melakukan semedi tidak lain untuk mengetahui alam kajaten atau kwahana kesejatian, yang sungguh-sungguh nyata dan ada di luar nalar atau akal budi kita.
SEMEDI & KESADARAN BATIN
Dalam upaya semedi dapat terjadi kegagalan dan keberhasilan. Kegagalan biasa terjadi dalam awal-awal latihan semadi namun lama kelamaan kita akan menemukan irama atau “frekuensi” yang dirasakan sangat “ajaib”. Bagi yang berhasil melakukan semadi pun ada dua kemungkinan yang berbeda tataran keberhasilannya. Kemungkinan yang pertama, meskipun berhasil dalam semedi namun seseorang belum mencapai puncak kesempurnaan semedi. Raga telah berhasil “dimatikan” sehingga yang terasa hanya getaran dahsyat dalam rasa. Getaran itu bersumber dari pusat kehidupan (atma) yang terletak pada susuhing angin/jantung, lalu menjalar ke seluruh “badan”. Bukan “badan” jasadiah semata, namun getaran itu terletak dalam badan halus/metafisik. Bila dirasakan sepintas lalu seolah badan wadag lah yang bergetar. Getaran berbeda dengan rasa gemetaran. Jika dikonotasikan sebagai prana ia sama-sama bersumber dari getaran rasa sejati. Bagi pelaku semedi yang masih berada pada tingkat ini hendaknya jangan merasa pesimistis karena tetap bisa merasakan berbagai keajaiban yang akan terjadi dalam wahana kesadaran semedi. Misalnya muncul bayangan atau gambaran gaib yang dapat menjelaskan sesuatu rahasia alam atau sebagai pralampita yang dapat menjadi petunjuk akurat dan tepat terhadap pelaku semadi. Kemungkinan kedua, pelaku semedi dapat mencapai  tataran sempurna atau kesempurnaan. Parameter kesempurnaan terjadi bilaman sukmanya benar-benar lepas dari badan wadagnya sendiri. Sukma dapat melanglang ke dalam buana gaib, menjelajah dalam ruang-ruang gaib yang berada di luar akal budi (jasad) yang menemukan kesadaran tinggi. Inilah yang disebut rahasia meraga sukma. Namun bagi yang berhasil meraih kesempurnaan dalam semedi –yang bermuara pada kejadian raga sukma– hal ini menjadi nilai tambah yang sangat bermanfaat. Meraga sukma bermanfaat besar untuk memperoleh kesadaran tinggi untuk memahami being dalam eksistensi noumena atau eksistensi di alam gaib.  Tentu saja kejadian ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang yang selalu dahaga dunia spiritual. Karena pelaku semedi akan memperoleh kesadaran tinggi dan dapat mengetahui hal-hal yang orang lain tidak ketahui/sadari.  Mengapa kesadaran tinggi diidamkan kebanyakan orang, tidak lain karena kemuliaan hidup yang sejati menuntut adanya kesadaran tinggi terlebih dulu. Tidak menjadi masalah bila kesadaran tinggi kita berasal dari referensi orang lain, kitab suci, maupun buku pedoman. Hanya saja bila kita merasakan sendiri pengalaman gaib secara langsung akan menjadikan sebagi pengalaman hidup yang sangat sensasional dan berharga. Hal ini bukan lah iming-iming namun sungguh apa adanya.
KUNCI KEBERHASILAN
Kesadaran sejati atau kesadaran batin dapat dicapai oleh siapapun tanpa tergantung agama dan ajarannya, asalkan seseorang mampu memerdekakan diri dari hegemoni kekuasaan nafsu negatif yang bercokol dalam jasadnya sendiri. Ibaratnya nafsu adalah kulit yang harus dikupas agar kita dapat menikmati daging buahnya. Nafsu jasadiah  seumpama cadar bagi mata batin, bila dibuka cadarnya maka mata batin akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan semua eksistensi gaib akan dapat dilihat dengan jelas. Pengendalian hawa nafsu bukanlah hal mudah ia perlu latihan terus menerus dengan kesabaran dan ketulusan. Tanpa bekal itu akan sulit mencapai tataran kesempurnaan dalam olah semedi. Dalam olah semedi pun harus dilakukan dengan rajin, sabar, ulet dan telaten jangan mudah menyerah dan cepat bosan. Biasanya jika sudah merasakan keberhasilan awal lantas akan menjadi ketagihan untuk lebih giat melatih diri.  Dua langkah utama yang menentukan keberhasilan yakni : mengendalikan nafsu, membersihkan hati dan batin dalam perbuatan sehari-hari dan rajin olah badan dalam tatacara semedi.
Teori Merubah Frekuensi
Kesadaran jasad jika diumpamakan sebagai gelombang AM radio, kejernihan dan kejelasan suaranya teramat rentan terjadi distorsi akibat gangguan kondisi cuaca alam yang buruk. Gelombang AM diumpamakan sebagai kesadaran jasad atau akal budi, sementara cuaca alam yang buruk seumpama gangguan imajinasi akal-budi dan nafsu. Artinya kesadaran ragawi atau jasad mudah sekali terkena tipu daya “setan” dalam hal ini nafsu dan imajinasi kita sendiri. Lain halnya dengan kesadaran rahsa sejati, diumpamakan gelombang FM radio. Suaranya jernih, bersih dan jelas. Gelombang FM juga tidak terpengaruh oleh cuaca alam yang buruk. Sekalipun terjadi angin ribut, hujan lebat dan guntur tidak akan menjadi gangguan kejernihan suara. Karena gelombang FM terpisah dan berbeda dari gelombang cuaca buruk. Ia berada dalam koridor frekuensi yang terpisah dari berbagai gelombang cuaca alam. Artinya, kesadaran rasa sejati terpisah dan tidak terpengaruh oleh imajinasi akal budi dan nafsu-nafsu negatif. Tugas semedi adalah mengalihkan gelombang atau frekuensi kita dari frekuensi AM ke FM. Dari kesadaran ragawi/jasad ke kesadaram rasa sejati (rasa pangrasa/indera ke-enam). Kelebihannya adalah dapat menangkap sinyal dari frekuensi rendah hingga yg paling tinggi sekalipun. Segala yang tadinya rahasia dan tertutup oleh nafsu dan rasio menjadi tersingkap semuanya tampak jelas.
SEMEDI: RADIO TRANSISTOR
Cara lebih mudah membayangkan fungsi olah semedi, saya mengambil analogi  seumpamanya kita merubah diri kita menjadi radio transistor. Sebenarnya dalam ruang udara terdapat banyak sekali berbagai macam gelombang suara dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Contohnya antara lain suara jangkrik sawah yang tidak bisa masuk jika direkam dengan pita kaset biasa. Atau suara kelelawar yang memiliki suara ultrasonik yang frekuensinya sangat tinggi sehingga tidak bisa ditangkap dengan telinga manusia. Begitu pula suara ikan paus yang dapat memancarkan gelombang suara sangat jauh namun sulit ditangkap telinga manusia pula.  Begitu juga gelombang suara yang dipancarkan antena transmisi stasiun radio tidak akan bisa ditangkap oleh telinga manusia sebelum dirubah dengan alat bernama radio transistor yang berfungsi merubah gelombang suara menjadi berfrekuensi yang sepadan dengan daya tangkap  kuping manusia. Sebelum dirubah oleh alat elektronik radio transistor, gelombang suara bagaikan suara eksistensi gaib. Nah analogi ini menjelaskan bila semedi ibaratnya merubah diri kita menjadi “radio transistor” yang dapat menangkap gelombang suara menjadi bunyi-bunyian. Artinya semedi merupakan sarana agar supaya kita dapat mendengar dan menangkap frekuensi yang terdapat di alam gaib. Dapat pula diistilahkan kita sedang menselaraskan antara “frekuensi jasad” kita dengan frekuensi gaib. Sebenarnya yang diselaraskan bukan frekuensi jasadnya dengan frekuensi gaib melainkan pindah chanel dari frekuensi “AM” ke frekuensi “FM”. Ke mana kita musti beli frekuensi FM ? Tidak perlu repot, karena di dalam setiap diri manusia telah terdapat frekuensi “FM” bawaan lahir yang sepadan/sinergis dengan “frekuensi” alam gaib, yakni frekuensi yang dimiliki rahsa sejati (rasa pangrasa). Tidak hanya manusia bahkan binatang malah lebih tajam “indera keenam” nya ketimbang manusia karena binatang tidak memiliki hawa nafsu. Kita dapat mencermati dari ayam, anjing, angsa dan binatang lainnya yang memiliki frekuensi sepadan dengan dimensi gaib. Binatang-binatang tersebut sering berlari ketakutan dikejar sesuatu yang tidak tampak oleh mata wadag.
TATA CARA SEMEDI
Semadi atau semedi, artinya sarasa = rasa tunggal = maligining rasa = rasa jati = rasa pangrasa. Disebut pula dengan maladihening, mesu budi, manekung, puja brata, tarak brata, dan masih banyak lagi istilahnya. Pada intinya olah semedi melibatkan dua kegiatan, pertama yakni;  SOLAH atau perilaku anggota badan dalam upaya “menidurkan” atau “mematikan” anggota raga untuk merasakan hidupnya rasa sejati. Kedua yakni BAWA atau perilaku batin, dengan cara mengolah rasa agar mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi lagi. Atau menghidupkan batin kita yakni merasakan atma (energi hidup) dalam sukma sejati. Agar tidak rancu perlu saya tegaskan perbedaan antara sukma sejati  dengan rasa sejati yakni ; sukma sejati dapat dilihat wujudnya, sedangkan rasa sejati hanya bisa dirasakan sebagai energi atma/ hidup/ kayun/ kayu/ chayu. Sukma sejati adalah roh/ruh/ruhulah sementara rasa sejati adalah sir/sirulah (lihat thread : Maklumat Jati). Terdapat banyak sekali tatacara semedi, misalnya sembari duduk bersila, bisa juga sembari baringan atau merebahkan badan. Berikut ini saya jabarkan tata cara semedi sambil membaringkan badan.
  1. Carilah tempat yang nyaman, tenang, dan aman agar konsentrasi anda tidak terganggu oleh suasana lingkungan sekitar. Jangan melakukan semedi di tempat yang berbahaya misalnya tepi sungai, tepi jurang atau di antara semak belukar. Hal ini untuk menghindari resiko jatuh terperosok termasuk terjadinya serangan binatang buas, serangga berbisa dsb. Bisa pula di lakukan di dalam rumah atau kamar tidur anda. Carilah waktu watu saat yang tenang biasanya setelah beranjak larut malam. Keheningan suasana atau suara alam yang lembut justru justru sangat membantu dalam menciptakan konsentrasi. Setelah menemukan tempat yang tepat lalu baringkan badan anda…
  2. Posisi badan telentang menghadap ke atas, seperti  mau tidur. Jangan ada anggota badan yang posisinya kurang nyaman. Seluruh anggota badan “jatuh” menempel di pembaringan tanpa ada penahanan sedikitpun. Seluruh otot dan syaraf harus rileks atau loss.  .
  3. Tangan sedekap atau sedakep (sedeku) dengan posisi lengan atas tetap menempel di lantai/tempat berbaring sementara lengan bawah diletakkan di atas dada. Jari-jari tangan saling mengunci. Atau bisa juga agar lebih rileks, tangan diluruskan ke bawah (arah kaki), kedua telapak tangan menempel di paha kiri kanan sebelah luar.
  4. Mata terpejam seakan anda sedang bersiap menidurkan diri. Bola mata tidak boleh bergerak-gerak, tahan dalam posisi pejam dan bola mata diam tidak bergerak, disebut meleng.
  5. Kaki lurus rileks telapak kaki kanan ditumpang di atas telapak kaki kiri disebut sedakep kaki tunggal, disebut saluku.
  6. Posisi dan langkah-langkah di atas bertujuan untuk menghentikan daya cipta meliputi imajinasi, angan, pikiran, kemauan, gagasan. Selain itu olah pasamaden sebagai upaya menutup aliran panca indera yakni indera perasa, pendengaran, dan penglihatan. Selanjutnya samadi atau semedi seyogyanya diimbangi dengan perilaku sehari-hari dengan mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.
Semedi merupakan salah satu cara meraih kemuliaan hidup, secara keseluruhan terdapat tujuh macam tahapan atau tingkatan “laku” yang harus dikerjakan apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna, yakni :
1. Tapaning Jasad
Sopan santun dan mawas diri. Dalam olah semedi dengan cara mengendalikan / menghentikan daya gerak anggota tubuh atau kegiatannya.
2. Tapaning Budi
Menghindari angan-angan dan prasangka yang buruk. Dalam olah semedi dengan bersikap positif thinking agar pikiran menjadi bersih dan dapat membentangkan pandangan seluas-luasnya. Namun jangan biarkan imajinasi menguasai rasio anda.
3. Tapaning Hawa Nafsu
Rela, legowo, menerima apa adanya (qonaah), sabar dan ikhlas. Jangan menyakiti hati sesama. Sabar menghadapi gangguan dan godaan dari dalam dan luar. Tidak suka iri hati dan dendam. Kuat lara wirang atau dipermalukan. Dalam olah semedi dengan cara sikap tidak buru-buru, sumeleh, mengalir apa adanya.
4. Tapaning Sukma
Menenangkan jiwa dan selalu jujur pada diri sendiri dan orang lain. Bersikap dermawan. Perbuatan lahir batinnya selalu diarahkan pada kebaikan. Tanpa pamrih semua hanya netepi sifating Zat. Dalam olah semedi harus bersikap pasrah, bersandar hanya kepada Hyang Widhi. Tidak memaksa diri mencapai hasil. Namun lebih mengutamakan prosesnya yang benar dan tepat.
5.Tapaning Rahsa
Perilaku yang utama, luhur budi pekertinya. Tidak takut bila menderita, dan kuat  laku prihatin. Tidak suka mengurusi (intervensi) hal yang bukan kewenangannya. Selalu mawas diri dan giat mencari ilmu hakekat. Dalam olah semedi indera perasa jasad dimatikan diganti dengan rasa pangrasa. Merasakan getaran indera ke-enam, atau rahsa sejati.
6.Tapaning Cahya
Menjaga kesucian lahir batin. Dalam olah semedi, selalu terkonsentrasi pada cahya di pangkal hidung antara kedua mata atau papasu.
7. Tapaning gesang
Selalu eling dan waspada serta mempunyai daya  memahami sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau samar karena kepalsuan “kulit”. Olah semedi hendaknya selalu ditujukan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan pribadi dan orang lain. Berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaan hidup, manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yakni target Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagai kunci untuk memahami isi Rasa Jati, untuk mencapai sesuatu yang luhur.  Maka dalam meraih kemuliaan hidup mutlak diperlukan sinkronisasi antara perbuatan lahir dan batinnya (solah dan bawa).
PATRAPING NETRA
Konsentrasi mata difokuskan pada satu titik yakni pangkal hidung, letaknya di antara ke dua belah mata, diisitilahkan papasu. Kedua belah mata terpejam, namun manik mata memandang ke arah papasu. Di situ bisa langsung tampak ada cahaya atau sinar mencorong/terang mencolok biasanya berwarna putih kekuningan. Bila cahaya di papasu belum muncul dan masih tampak gelap gulita anda harus bersabar, tunggu beberapa saat hingga cahya muncul sedikit demi sedikit lalu berubah menjadi semakin terang bahkan bisa sangat menyilaukan. Bila posisi di atas sudah bisa anda lakukan dengan rileks, selanjutnya giliran menata nafas anda. Setelah dibarengi olah nafas yang rilek  anda tinggal konsentrasikan mata pada arah papasu. Lama-kelamaan cahaya kuning terang semu keputihan semakin terang, pusatkan konsentrasi pada cahaya tersebut. Tunggu dengan sabar dan rilek hingga akan muncul gambaran seperti lorong. Tugas anda bergerak mengikuti lorong tersebut dengan perasaan. Pergerakan dikomando oleh kareping rahsa, yakni kehendak rasa sejati. Nantinya lorong akan seperti berkelok melengkung-lengkung namun bukan menikung tajam. Lorong itu akan berujung pada wahana ruang yang sangat terang benderang.  Anda seolah masuk ke dalam ruang yang sangat luas dan sulit digambarkan eksotisnya. Itulah ruang gaib.
Pada tahapan ini belum terjadi raga sukma. Peristiwa ini, kesadaran kita  hanyalah sebatas berada di antara dunia wadag dengan dunia meta yang gaib. Dengan menggunakan mata batin kita menyaksikan eksistensi gaib melalui “jendela” dimensi gaib. Artinya sukma anda belum memasuki alam gaib.  Namun kesadaran batin kita bagaikan energi telekinetik bisa menjelajah ke tempat atau lokasi yang kita inginkan. Di analogikan penglihatan batin kita berubah fungsi sebagaimana alat periskop yang dimiliki kapal selam. Jika diumpamakan kesadaran jasad kita bagaikan berada di dalam kapal selam yang pandangannya sangat terbatas pada obyek yang ada di sekeliling kita dalam jarak yang sangat pendek. Maka mata batin bagaikan alat  periskop yang bisa digunakan untuk melihat ada apa di atas permukaan air.
Pada saat semedi minimal orang akan mendapatkan semacam ilham atau wisik yang dapat menjadi petunjuk untuk mengambil keputusan atau apa yang harus dilakukan dan dihindari. Bila latihan olah semedi dilakukan dengan telaten, lama-kelamaan akan mencapai tahap selanjutnya dimana sukma akan keluar dari badan wadag. Pada tahap ini anda akan merasakan keanehan-keanehan;
  1. Merasakan seolah badan kita tidak bernafas dan indera perasa tidak merasakan sesuatu apapun, namun kita sadar bahwa diri kita tetap lah hidup.
  2. Pada tahap ini kadang terdengar suara-suara (gaib) yang terdengar asing dan aneh. Suara-suara tersebut berasal dari dimensi lain. Karena kesadaran anda telah berada di ambang batas antara dunia wadag dengan dunia gaib. Suara-suara tersebut bukanlah sengaja mengganggu justru menunjukkan bila anda sudah mulai berhasil merubah diri anda menjadi “radio transistor”. Nah, pada tahap ini terkadang anda dapat menangkap petunjuk, sasmita, pralampita yang berasal dari para leluhur.  Anda juga tidak perlu khawatir digoda setan/makhluk halus/hantu/demit/jin dsb, karena langkah semedi anda yang mematikan nafsu ragawi sudah cukup menguatkan mental dan batin anda, dan menjadi pagar gaib yang cukup kokoh.
  3. Melihat badan kita sendiri dari luar tubuh. Biasanya kita melihat diri kita seolah sedang tertidur pulas, atau sedang duduk bersila sesuai dengan posisi sewaktu kita melakukan semedi.
  4. Bila sudah terjadi posisi demikian, anda janganlah panik atau takut, tetap kendalikan semuanya melalui kehendak rasa anda sendiri. Misalnya anda ingin menjauh dari tubuh atau ingin menyatu kembali dengan tubuh semua perintah di bawah kendali sang rasa sejati, yakni kehendak rasa.
  5. Antara sukma anda dengan badan wadag bagaikan mengandung energi magnet yang saling tarik menarik. Bila anda berkehendak ingin kembali masuk ke tubuh seketika akan terasa ada energi kuat yang menyedot sukma ke dalam badan wadag. Energi tersebut saya identifikasi sebagai nyawa. Bedanya dengan orang yang meninggal dunia, nyawa sebagai daya perekat sudah tidak ada lagi. Dapat diumpamakan “lem perekat” antara sukma dengan badan wadag sudah hilang, sehingga terjadi pelepasan/perpisahan kekal antara sukma dengan badan wadag.
  6. Selama badan anda sehat wal afiat tidak perlu khawatir kelepasan.. J karena eksistensi nyawa itu prinsipnya tergantung dari kondisi kesehatan atau performance badan anda sendiri. Bila sukma anda berkelana tidak akan terjadi kematian selama nyawa masih bekerja sebagai “lem perekat” atau penghubung antara sukma dengan jasad. Untuk memudahkan pemahaman raga sukma dapat saya contohkan dengan orang yang sedang main layang-layang.  Layang-layang diibaratkan sukma sejati kita, tali layang-layang adalah nyawanya, dan orang yang memainkan layang-layang adalah badan wadagnya. Antara layang-layang dengan seseorang yang memainkan masih tetap terhubung oleh tali layang-layang tersebut.
  7. Bila anda merasa sukma sudah berada di luar tubuh hendaknya melatih untuk bepergian dalam jarak dekat dulu, baru kemudian semakin lama semakin jauh. Karena bila anda langsung berjalan jauh, terkadang mengalami kesulitan untuk kembali ke badan. Seumpama orang sedang berjalan menyusuri hutan belantara yang belum anda kenali seluk beluknya serta lupa jalan pulangnya. Hal ini sangat berbahaya, karena dalam tahap awal badan wadag anda belum kuat ditinggal sukma sejati terlalu lama. Persendian akan terasa kaku-kaku, peredaran darah tidak lancar dan tekanan darah (HB) nya bisa drop. Resiko ini yang dapat berakibat terjadi kematian.
OLAH NAFAS
Selanjutnya mulai menata irama nafas khusus diperlukan dalam olah semedi. Nafas ditarik dalam-dalam, jangan tergesa dan kasar, lakukan dengan cara yang lembut, namun kuat dan sepanjang-panjangnya nafas hingga habis.  Rasakan nafas mulai memenuhi puser kemudian semakin penuh naik hingga ke dada terasa penuh sesak lalu rasakan semakin naik hingga ke cethak atau langit-langit mulut, terus naik lagi hingga ke ubun-ubun kepala. Proses masuknya nafas memenuhi puser hingga ke ubun-ubun dilakukan dalam sekali tarikan nafas. Memakan waktu antara 4-7 detik. Atau dalam hitungan normal dari angka ke 1 hingga ke 7.
Setelah nafas mencapai ubun-ubun tahan sebentar dalam hitungan 7 detik lalu keluarkan nafas melalui mulut dalam hitungan 4 atau dalam waktu 4 detik. Prinsipnya jumlah tarikan nafas harus selalu lebih besar dibanding keluarnya nafas.
SASTRA CETHA
Rasakan pula saat menahan nafas di ubun-ubun, pada awalnya terasa ringan  lalu semakin lama semakin berat, jika sudah terasa berat sekali kemudian  lepaskan pelan-pelan seolah menurunkan beban yang mudah pecah. Beban itu sesungguhnya pergerakan rasa jati ada pula yang menyebut sebagai tenaga dalam yang terkonsentrasi. Olah nafas demikian disebut sastra cetha; sastra adalah empaning kawruh, atau kiasan sebagai umpan ilmu. Cetha adalah antebing swara cethak. Cethak adalah langit-langit mulut tempat keluarnya bunyi. Mengapa disebut sastra cetha, yakni untuk menggambarkan olah nafas yang ditarik hingga ke ubun-ubun. Nafas bisa mencapai ubun-ubun bila cethak ditutup rapat sehingga tidak lebih dulu gembos melalui mulut. Bila nafas tidak ditahan dengan cethak hanya akan mengikuti jalannya nafas yang wajar dengan sendirinya. Nafas tidak dapat mencapai ubun-ubun hanya sampai di cethak langsung turun lagi.
DAIWAN
Daiwan atau dawan artinya mengatur keluar masuk nafas yang panjang, rileks dan penuh kesabaran, tidak kemrungsung, buru-buru.  Daiwan berarti pula panjang tanpa ujung, langgeng atau abadi. Maksudnya adalah sarana hidup kita yang langgeng berada di dalam nafas kita. Nafas adalah keluar masuknya angin dalam badan seiring dengan keketeg panglampahing rah/roh. Bila kedua unsur tersebut (nafas dan roh) berhenti bekerja dinamakan mati yakni rusaknya badan wadag lalu kembali kembali ke asalnya. Maka nafas yang selalu keluar masuk badan hendaknya dipanjangkan sepanjangnya agar kita memperoleh energi kehidupan lebih panjang lagi.
Keluar masuknya nafas benar-benar dirasakan adanya energi hidup (atma/chayu/kayu/kayun)  sembari mengucap mantra dalam hati/batin saja. Mengucap “hu” pada saat nafas ditarik dari puser ke arah ubun-ubun. Lalu mengucap “ya” pada saat keluarnya nafas yakni turunnya nafas dari ubun-ubun ke arah pusar. Naik turunnya nafas tadi melewati dada dan cethak. Nah, disebut sastra cetha karena pada saat mengucapkan kedua mantra hu – ya dibarengi dengan pengendalian buka tutupnya cethak untuk menahan dan melepas nafas.
Setelah masuknya Islam ke nusantara, terjadi beberapa anasir seperti dalam wirid naqshabandiyah SSJ mantra hu – ya dirubah bunyi menjadi hu – allah. Namun kemudian terdapat mazab lain di luar mazabnya SSJ, dan melakukan modifikasi mantra hu – allah menjadi haillah – haillallah, dikenal sebagai wirit satariyah. Perbedaannya, dalam tradisi satariyah ini tidak dilakukan menahan nafas, melainkan hanya bernafas seperti biasanya.
Apapun kata dan bahasa yang digunakan dalam mantra toh tidak ada pengaruh dalam keberhasilan semedi. Letak keberhasilan semedi bukan pada ucapan,  namun bagaimana kita harus memahami dan menghayati makna hakekat dari hu – ya, hu – allah, maupun hailah – hailallah. Jangan terjebak oleh rangkaian kata-katanya namun konsentrasi harus di fokuskan kepada getaran Zat Mahamulia. Hu atau ha atau a atau the berarti “sesuatu”, yakni menggambarkan sesuatu yang paling dan maha, tidak lain adalah eksistensi Zat tertinggi yang tanpa nama sebagai tingkat pemahaman akan tataran hakekat Zat.
TRIPANDURAT
Satu kegiatan olah nafas dinamakan sastra cetha yakni sekali kegiatan menarik/menyedot nafas melalui hidung lalu di tahan, selanjutnya dilepas lagi lewat mulut. Setiap kegiatan olah sastra cetha, tidak perlu dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama tanpa putus. Sebaliknya dilakukan saja secara wajar misalnya 3 kali melakukan olah sastra cetha kemudia istirahat sejenak lalu dimulai lagi. Tiga kali melakukan olah sastra cetha disebut tripandurat. Tri ; tiga, pandu ; suci, rat ; jagad/ badan. Maksudnya tiga kali melakukan olah sastra cetha dapat menghasilkan persentuhan antara makhluk dengan Sang Pencipta atau tumameng ing ngabyantaraning yang Mahasuci, bertempat di dalam ubun-ubun atau suhunan yakni ingkang dipun suwuni.
Naik dan turunnya nafas dinamakan wahana paworing kawula-Gusti. Pada saat nafas di tarik mencapai ubun-ubun atau suhunan lantas ditahan, nafas berhenti sejenak. Posisi yang demikian dinamakan ; kita jumeneng Gusti, bila nafas sudah diturunkan kembali ke pusar (sembari nafas keluar perlahan lewat mulut) kita kembali dinamakan sebagai kawula. Sampai pada penjabaran ini jangan sampai para pembaca keliru memahami. Adapun yang dimaksud manunggaling kawula-gusti bukanlah nafas kita, melainkan daya cipta. Olah semedi harus membentangkan atau merentangkan keluar masuknya nafas agar menjadi panjang. Sembari mengheningkan dan membeningkan mata, karena mata kita berasal dari rasa pangrasa atau indera ke-enam.
Begitu seterusnya hingga merasakan kemajuan-kemajuan. Ukuran kemajuan dalam latihan olah nafas bilamana mampu menahan nafas lebih lama lagi dari sebelumnya dan kuat melakukan latihan olah nafas dalam waktu yang semakin lama pula. Dengan kata lain jam terbangnya semakin tinggi.
Adapun olah semedi dapat dilakukan sepanjang masa, pada saat duduk, berdiri, berjalan, maupun saat bekerja. Namun cara yang dapat ditempuh cukup mengucap mantra hu – ya dalam setiap hela nafas keluar masuk. Tidak perlu diucap dengan lisan lebih utama ucapan mantra selalu terpatri di dalam hati menyambung koneksi antara diri sejati dengan Ilahi.
MANFAAT SEMEDI
Olah pasamaden atau ulah semedi sangat bermanfaat untuk kesehatan lahir batin, dan menjadi sarana belajar mengetahui hal-hal yang tersimpan di dalam rahasia gaib. Sehingga disebut pula sebagai sastra jendra hayungrat pangruwating diyu.
Sastra = empaning kawruh, jendra = harja-endra, harja = raharja, endra = ratu/dewa, yu = rahayu/wilujeng, ningrat = jagad/tempat/badan. Maknanya ; intisari ilmu pengetahuan sejati yang berguna untuk membangun kesadaran dan keselamatan, kesejahteraan, dan ketentraman.
Pangruwating diyu = menjaga diri dari diyu. Diyu = raksasa/denawa/asura/buta  atau sifat raksasa bodoh, angkara murka dan gemar menganiaya, yakni sifat-sifat kebalikan dari dewa, sebagai lambang segala sesuatu yang baik. Maknanya ; olah semedi yang dapat menyirnakan segala hal yang buruk/jahat, gangguan, dan segala marabahaya.
Dari pengertian sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu mengandung makna yang mendalam yakni; siapapun yang tidak enggan melakukan olah semedi akan memperoleh berbagai kebaikan, dapat mengendalikan nafsu negatif, hatinya bersih, batin dan nuraninya tajam, naluri dan instinknya menjadi semakin kuat, memiliki sense of human, kepekaan sosial, kepekaan indera keenam (rahsa sejati). Bila badan sedang sakit atau dirasa tidak enak, akan menjadi sirna sakitnya.  Sifat temperamental menjadi sopan santun, sabar, belas kasih dan lapang dada.  Gemar bohong berubah menjadi jujur. Yang bodoh menjadi pinter. Yang sudah pinter menjadi pinter sekali. Hasil dari olah semedi dapat dikiaskan sebagai berikut ; yang sudra menjadi waesia, yang waesia menjadi satria, yang satria menjadi brahmana, yang brahmana menjadi berbadan braja berjiwa bethara. Yang gemuk jadi kurus, yang kurus jadi gemuk, yang cronges jadi tampan (J ..just kidding).  Tapi jangan pesimis dulu, berkat olah pernafasan ada beberapa yang berhasil kok, yang tadinya gemuk menjadi ideal. Seperti halnya berbagai perguruan ilmu “tenaga dalam” sudah membuktikan manfaat olah semedi (pernafasan) ini terutama dalam menjaga stamina dan kesehatan. Jika badan sehat, stamina bagus, maka jasad tidak mudah rusak, berarti dapat menghabiskan usia yang digariskan tuhan, dan  tentu saja tidak terjadi “kematian prematur” akibat human error, kecerobohan dan mismanajemen dalam menjalani kehidupan ini.
sawarnaning kapiawon  tuwin saliring godha rencana, bebaya pakewed punapa kemawon, ingkang tuwuh saking cidraning manah pribadi, punika sedaya sirna lebur dening pangastuti ulah semedi, inggih amesu cipta, mesu budi, maladihening, ulah pasamaden, sedaya punika namung kangge amurmeng pandulu paworing kawula kalawan gusti. Makaten ugi sedaya  sawarnining bebaya ingkang medal saking pandameling tiyang sanes, sanadyan ugi kewan ingkang wantun angganggu damel, temtu ketaman ing wilalat, peksi miber ingkang ngungkuli temtu pejah sirna kuwandhanipun. Punapa dene tumrap sasamining titah ingkang nedya anglawan, angremehaken tuwin angluhuri kamenangan dateng sasaminipun, temtu boten badhe kalampahan. Salagi saweg purun papandengan kemawon sampun tamtu badanipun gemeter lolos otot bebayunipun. Inggih margi saking kaungkulan perbawa ingkang tansah sumunar gumawang purbawisesanipun kadosdene wimbaning purnama sada”.
Karena itu dalam kaitannya dengan olah asamaden, Ilmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam beserta perkembangannya. Manfaat Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah tatacara, jalan atau cara untuk mencapai kemuliaan dan kesempurnaan hidup yang sejati. Nuwun. Rahayu!